
RUANGANTIHOAX, Parigi Moutong – Puluhan warga Desa Baliara, Kecamatan Parigi Barat, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mendatangi lokasi tambang pasir dan batu (Sirtu) di aliran Sungai Baliara, Rabu (23/7/2025). Mereka menyatakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang diduga dikelola oleh seorang anggota Polri aktif yang bertugas di wilayah hukum Polres Parigi Moutong.
Aksi ini dipicu keluhan warga atas dampak lingkungan, seperti banjir dan rusaknya lahan perkebunan. Saat tiba di lokasi sekitar pukul 11.30 WITA, warga mendapati satu alat berat yang sedang beroperasi dan satu unit truk bermuatan pasir. Aktivitas tersebut langsung dihentikan sementara oleh pihak pengelola.
Aksi penolakan tersebut dikawal langsung oleh Kepala Desa Baliara, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas setempat. Kepala Desa Baliara, Fadli Badja, menegaskan kehadirannya untuk mendampingi warga dan memastikan aksi berlangsung damai.
“Saya di sini bukan ikut aksi, tapi mendampingi warga agar tidak terjadi tindakan anarkis. Masyarakat tetap menolak tambang ini. Kami dari pemerintah desa akan terus mengawal penolakan ini sampai ada penyelesaian,” ujar Fadli kepada wartawan usai aksi.
Fadli juga membeberkan bahwa pengelola tambang, yang diketahui bernama Syamsudin dan merupakan anggota Polri, telah empat kali menemuinya. Dalam pertemuan itu, pengelola mengklaim telah mengantongi izin dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan tidak memerlukan persetujuan dari pemerintah desa.
“Saya bahkan pernah ditawari uang supaya menerima kegiatan tambang ini. Tapi saya tolak karena masyarakat tidak setuju dan dampaknya sudah terasa,” katanya.
Syamsudin, yang disebut sebagai pengelola tambang, membenarkan bahwa dirinya merupakan anggota Polri aktif. Ia mengaku telah mengurus Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) atas nama CV Bintang Baru Nusantara, serta dokumen pelengkap seperti UKL-UPL, Nomor Induk Berusaha (NIB), dan bukti pembayaran PNBP.
Ia juga mengakui pernah menawarkan uang kepada Kepala Desa, dengan maksud mengajak dialog dan menyepakati kontribusi perusahaan kepada masyarakat. “Saya bilang ke Pak Kades, jangan ribut. Berapapun kewajiban untuk desa, saya usahakan penuhi. Bahkan saya tawarkan penghasilan saya pribadi,” ungkap Syamsudin.
Namun, meski perizinan diklaim lengkap, keterlibatannya dalam pengelolaan tambang justru membuka potensi pelanggaran serius terhadap aturan internal kepolisian.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, setiap anggota dilarang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, termasuk di sektor pertambangan.
Larangan ini dipertegas dalam Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/1224/VI/2020 tertanggal 15 Juni 2020, yang melarang seluruh anggota Polri terlibat dalam aktivitas tambang, baik ilegal maupun legal, demi menjaga netralitas dan citra institusi.
Jika terbukti benar bahwa tambang tersebut dikelola oleh oknum polisi aktif, maka kasus ini berpotensi menjadi pelanggaran etik dan disiplin berat. Sanksinya dapat berupa teguran, penempatan khusus, hingga pemecatan, tergantung hasil penyelidikan Propam Polri.
Situasi ini mendapat sorotan serius dari berbagai kalangan yang menilai bahwa keterlibatan aparat dalam bisnis tambang dapat mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Penolakan masyarakat Desa Baliara juga menunjukkan keresahan atas dampak lingkungan dan praktik yang tidak transparan.
Pihak Kepolisian diharapkan segera melakukan klarifikasi dan pemeriksaan terhadap oknum terkait. Masyarakat menuntut agar aparat penegak hukum tetap menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme, serta tidak menggunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi.