
RUANGANTIHOAX, Sastra – Tradisi dan kebudayaan erat kaitannya dengan ikatan manusia, alam, dan pencipta. Keyakinan menghasilkan ritual dalam kultus yang terjaga dalam adat istiadat. Ini adalah keunikan Indonesia yang patut dibanggakan, tersebar di setiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing. Salah satu tradisi yang menonjol di lereng Gunung Merapi adalah Tari Rampak Gedruk Buto, sebuah kesenian yang memukau dengan keunikannya yang menyeramkan.
Lahirnya Tari Rampak Gedruk Buto
Di Magelang, Jawa Tengah, Tari Rampak Gedruk Buto pertama kali lahir dan berkembang hingga Boyolali, Semarang, bahkan menjamah ke Sleman, Yogyakarta. Para penarinya berdandan ala monster dengan wajah menyeramkan, menari dengan gerakan tangan dan kaki yang kompak. Cosplay monster dalam tari ini menjadi ikon dari raksasa yang mendiami Gunung Merapi. Warga lereng Merapi percaya bahwa kerusakan alam yang merajalela dapat memicu kemarahan raksasa.
Tari Rampak Gedruk Buto biasanya menjadi kesenian tahunan untuk memeriahkan perayaan tertentu. Buto digambarkan dalam sebuah kostum menyeramkan dengan raut kemarahan, simbol keyakinan warga lereng Merapi akan kemarahan sang raksasa akibat kerusakan alam, eksploitasi, dan pembukaan lahan oleh manusia.

Makna di Balik Tari Rampak Gedruk Buto
Tidak hanya sebagai kesenian, Tari Rampak Gedruk Buto menyampaikan pesan penting tentang menjaga alam. Kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu, akibat alih fungsi lahan konservasi menjadi lahan pertanian dan permukiman serta penggunaan pestisida yang berlebihan, menjadi latar belakang yang nyata. Melalui tarian ini, masyarakat diingatkan akan pentingnya menjaga alam agar tidak memicu kemurkaan sang raksasa.
Tari Rampak Gedruk Buto memukau penonton dengan gerakan kaki yang menghentak berirama senada dengan ayunan tangan, menggambarkan kemurkaan raksasa yang gagah dan berkuasa. Suara gemerincing lonceng yang dipasang pada kaki para penari memecah keramaian, berirama dengan hentakan kaki yang kuat. Diringi lantunan kendang dan beberapa gamelan, tarian ini menyedot perhatian masyarakat setiap kali dipentaskan.
Keunikan dan Kekuatan dalam Kompak
Kostum penari Rampak Gedruk Buto sangat menonjol dengan topeng yang menyeramkan. Pelototan mata besar dan gigi runcing mencuat keluar, terbuat dari ukiran kayu berwarna-warni seperti biru, merah, cokelat, kuning, dan hitam. Pakaian mereka berwarna mencolok seperti merah, kuning, hijau, dan biru, dilengkapi untaian kain, sampur atau selendang, hiasan uncal, serta rambut buto.
Penari Rampak Gedruk Buto biasanya terdiri dari 10 orang, dengan kekompakan sebagai kunci utama. Semakin kompak hentakan kaki mereka, semakin kencang suaranya terdengar. Tarian ini bisa dibawakan dalam arak-arakan atau di panggung pementasan. Sebelum pementasan, pemangku adat melakukan ritual doa dan sesajen agar para penari punya stamina lebih dan gerakan tariannya kuat, kadang melibatkan roh leluhur untuk memasuki penari.
Sebuah Pesan yang Kuat

Tari Rampak Gedruk Buto menjadi wujud keprihatinan masyarakat terhadap alam, terinspirasi dari cerita perang Prabu Baka dan Babad Tanah Jawa. Gerakan sederhana namun kuat dari hentakan kaki dan ayunan tangan, bersama topeng dan kostum yang mencolok, menciptakan tontonan yang tidak hanya menghibur tetapi juga penuh makna.
Desa Campursari di Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, adalah salah satu daerah yang masih menjaga kesenian ini. Selain itu, tarian ini juga diajarkan di sekolah-sekolah melalui ekstrakurikuler, menunjukkan bagaimana kesenian ini berkembang pesat di provinsi Jawa Tengah. Mengingat kerusakan lingkungan yang parah, kesenian ini menjadi lebih relevan sebagai pengingat dan pelajaran untuk menjaga bumi.
Rampak Gedruk Buto, dengan segala keunikannya, terus menarik masyarakat untuk menyaksikan. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pelajaran penting akan kemarahan buto atau raksasa yang harus dipertahankan untuk menjaga alam. Melalui tarian ini, generasi muda diajak untuk lebih peduli dan aktif dalam melestarikan budaya serta lingkungan sekitar mereka.
