
Ahli pidana yang berasal dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yaitu Dr. Mudzakkir, mengemukakan pandangannya mengenai ‘upaya paksa perpajakan’ dalam konteks hukum pidana. Menurut Mudzakkir, upaya paksa perpajakan seharusnya diatur melalui undang-undang (UU) dan tidak melalui Peraturan Menteri. Ia berpendapat bahwa Peraturan Menteri seharusnya hanya mengatur Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tidak boleh menciptakan norma baru setingkat UU.
Pandangan Mudzakkir ini muncul dalam kerangka judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Proses judicial review ini diinisiasi oleh Surianingsih, seorang warga Karo, Sumatera Utara. Poin sentral dari judicial review tersebut adalah Pasal 43 ayat 1 dan ayat 4, yang membahas wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam melakukan pemeriksaan bukti permulaan di bidang perpajakan.
Mudzakkir menekankan bahwa ketentuan yang diatur oleh Peraturan Menteri tidak sejalan dengan UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) yang menggarisbawahi kepastian hukum yang adil.
Dalam argumentasinya, Mudzakkir menyoroti bahwa regulasi mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan seharusnya hanya mencakup SOP, bukan norma baru. Ia berpendapat bahwa pengaturan norma dalam Peraturan Menteri dapat dianggap bertentangan dengan prinsip UUD 1945.
Surianingsih, dalam tuntutannya, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frasa tertentu dalam Pasal 43A UU Nomor 7 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, kecuali dimaknai secara khusus.
Dalam konteks keadaan hukum ke depan, apabila terjadi kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK), langkah-langkah tegas dan transparan harus diambil. Penguatan pengawasan internal dan eksternal, serta perbaikan mekanisme pemeriksaan kode etik hakim konstitusi, menjadi kunci utama. MK perlu memastikan proses sanksi atau tindakan disiplin atas pelanggaran etik diambil dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan.
Partisipasi publik dalam pengawasan MK juga harus ditingkatkan guna menjamin akuntabilitas dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Dalam menghadapi situasi kontroversial, upaya untuk mengembalikan citra MK harus didasarkan pada keputusan yang transparan dan berani, dengan fokus pada nilai-nilai keadilan.
Kepercayaan publik menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan lembaga peradilan. Oleh karena itu, MK harus senantiasa menjaga integritasnya dan mengimplementasikan langkah-langkah preventif agar kecurangan dapat dicegah secara optimal.