
RUANGANTIHOAX, Sastra – Di tanah Banyuwangi, Jawa Timur, terdapat sebuah kesenian yang memikat hati dengan pesonanya yang magis dan penuh warna, dikenal sebagai Jaranan Buto. Seni pertunjukan ini bukan sekadar hiburan semata, melainkan juga cerminan dari kekayaan budaya dan sejarah yang sarat makna.
Asal Usul dan Sejarah
Jaranan Buto adalah kesenian Kuda Lumping yang berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur. Jaranan Buto memiliki persamaan dengan Jaranan Turonggo Yakso dari Trenggalek. Jaranan Buto memiliki akar yang dalam di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Nama “Buto” merujuk pada karakter raksasa dalam bahasa Jawa, yang merupakan gambaran dari tokoh legendaris Minakjinggo. Cerita rakyat menyebut Minakjinggo sebagai seorang raja dengan kepala berukuran raksasa, yang dalam konteks tarian ini, dijadikan inspirasi bagi tokoh utama.
Sejarah Jaranan Buto dimulai sejak tahun 1930-an ketika para pekerja dari Trenggalek, yang dibawa oleh kolonial Belanda untuk bekerja di perkebunan Banyuwangi, memperkenalkan kesenian Jaranan Turonggo Yakso. Kesenian ini kemudian mengalami akulturasi dengan budaya lokal Banyuwangi dan berkembang menjadi Jaranan Buto yang kita kenal hari ini. Meskipun kesenian ini mempertahankan gerakan dan iringan musik asli, namun di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas pada tahun 2010, kostum dan tata rias Jaranan Buto diperbarui untuk mencerminkan identitas khas Banyuwangi.
Makna Simbolik dan Tata Rias
Tari Jaranan Buto melibatkan 16-20 penari yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mengenakan tata rias wajah dengan warna dasar merah, dipadukan dengan hitam dan putih untuk menampilkan kesan berani dan menakutkan, sesuai dengan karakter raksasa yang kasar dan serakah. Rambut penari disusun dalam gaya gimbal, panjang, dan berantakan, memperkuat visualisasi karakter raksasa.
Aksesori kepala atau mahkota yang dikenakan oleh para penari juga memiliki makna simbolik. Mahkota yang tinggi dan berhiaskan warna emas menandakan status raja, sementara mahkota berbentuk bulat telur dengan warna merah melambangkan perdana menteri yang penuh tekad. Sedangkan ikat kepala sederhana menunjukkan status prajurit yang setia dan berwibawa.
Pertunjukan dan Atraksi Magis
Pertunjukan Jaranan Buto diiringi oleh seperangkat gamelan yang terdiri dari dua bonang, dua gong, sompret (seruling), kecer, dan dua kendang. Atraksi ini biasanya dimulai dari pukul 10.00 hingga 16.00 WIB, dengan puncaknya para penari mengalami kesurupan. Dalam kondisi ini, mereka menunjukkan kemampuan luar biasa seperti memakan kaca, api, atau ayam hidup. Penampilan ini diawasi oleh seorang pawang yang bertugas menyadarkan penari dan penonton yang ikut mengalami kesurupan.
Identitas dan Kebanggaan Banyuwangi
Jaranan Buto tidak hanya sekadar kesenian, melainkan juga identitas budaya yang kuat bagi masyarakat Banyuwangi. Dengan kombinasi kostum yang mencolok, tata rias yang dramatis, dan atraksi yang memukau, Jaranan Buto telah menjadi daya tarik yang tidak hanya dikenal di Jawa Timur, tetapi juga hingga ke Sumatera, Kalimantan, dan bahkan Malaysia.
Penampilan Jaranan Buto sering kali diiringi oleh kesenian Barongan Kemiren, menambah kemeriahan dan memperkuat identitas budaya Banyuwangi. Meski kini telah banyak perubahan dalam tampilan kostum, esensi gerakan dan musik tradisional tetap dipertahankan, menjaga keaslian dan warisan budaya yang telah ada sejak generasi ke generasi.
Jaranan Buto adalah cerminan dari kekayaan budaya, sejarah, dan kreativitas masyarakat Banyuwangi. Kesenian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak kita merenungi dan menghargai nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Melalui Jaranan Buto, Banyuwangi menunjukkan kepada dunia bahwa di balik keindahan tari dan musik, terdapat jiwa dan identitas yang kuat yang terus hidup dalam setiap gerakan dan nada yang dimainkan.